Oleh: Anjar Asmara, S.Pd
(Pesisirnews.com) - Akhir tahun 2019 di Kota Wuhan, China, virus SARS-CoV-2 atau yang lebih dikenal dengan Covid-19 terdeteksi pertama kali menginfeksi manusia. Pada Juni 2021 atau enam bulan setelah kasus pertama, virus ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia hingga membuat terjadinya bencana kesehatan global.
Lebih parahnya lagi, dampak yang ditimbulkan pandemi ini tidak hanya terbatas pada korban jiwa tetapi memengaruhi pula kepada berbagai aktivitas dan taraf hidup manusia seperti ekonomi, pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan, dll.
Baca Juga:
Kondisi itu membuat miliaran orang di seluruh dunia tiba-tiba membutuhkan perangkat digital untuk dapat mengakses kegiatannya seperti belajar, bekerja, berdagang, dan kebutuhan akan informasi serta layanan penting lainnya.
Berdasarkan data dari Our World in Data, di minggu kedua Oktober 2022 korban meninggal karena Covid-19 tercatat mencapai sebanyak 6,56 juta jiwa di seluruh dunia. Ini tentu bukan sebuah angka yang kecil jika diukur dari dampak kematian pada manusia yang disebabkan oleh virus ini.
Baca Juga:
Pandemi Covid-19 lantas membuka mata dunia tentang pentingnya pendekatan digitalisasi yang dapat menjembatani segala kebutuhan manusia serta mendorong negara-negara berkembang untuk melakukan transformasi digital nasional mereka yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum krisis Covid-19, negara-negara berkembang dan pelaku pembangunan melihat teknologi digital lebih sebagai enabler atau fasilitator bagi individu, atau kelompok agar mereka dapat meningkatkan kapasitas dalam berusaha serta untuk menunjang kegiatan mereka lainnya.
Tetapi ketika badai Covid-19 melanda dunia, transformasi digital yang inklusif dirasakan menjadi lebih penting, dan pendekatan digital mulai dimasukkan ke dalam pembangunan secara nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing negara.
Pandemi Covid-19 juga mengubah cara pandang negara-negara berkembang bahwa pandemi telah menimbulkan ketimpangan, menghambat upaya pengentasan kemiskinan, menambah jumlah pengangguran, dan memperjelas terjadinya kesenjangan digital di masyarakat.
Mengutip Madgavkar (2020), kesenjangan digital berbasis gender, misalnya, dapat berarti bahwa jutaan perempuan yang dikecualikan dari ekosistem digital dapat kehilangan kesempatan kerja karena program stimulus semakin banyak disampaikan melalui saluran digital.
Hal itu jika dibiarkan maka bisa menghambat pembangunan manusia yang pada akhirnya akan berdampak pula pada kemajuan sebuah negara.
Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP), yang dipublikasikan pada 26 Juli 2022, sejak meledaknya pandemi Covid-19, lebih dari 100 negara telah meminta bantuan untuk mengembangkan solusi digital, termasuk sekitar 30 negara yang mencari dukungan untuk memastikan transformasi digital holistik yang aman.
Butuh kerja keras dan berbagai upaya yang dilakukan oleh semua negara untuk dapat menurunkan grafik pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, hingga interaksi antar manusia bisa berlangsung secara lebih leluasa dibandingkan dengan saat pandemi masih bergejolak di seluruh dunia.
[br]
Apa itu Transformasi Digital yang Inklusif?
Pengertian transformasi digital yang inklusif menurut UNDP, adalah tentang meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan adopsi teknologi digital untuk semua lapisan masyarakat.
Transformasi digital yang inklusif juga disebut sebagai digitalisasi berkelanjutan, atau disebut pula sebagai transformasi digital berkelanjutan, di mana konsep ini mengacu pada proses digitalisasi ekonomi secara berkelanjutan, hijau, dan organik.