Minggu, 16 Maret 2025 WIB

Anggota Komisi VI DPR RI: Tiga Faktor yang Memicu Anjloknya Harga Sawit Rakyat

- Sabtu, 25 Juni 2022 10:40 WIB
951 view
Anggota Komisi VI DPR RI: Tiga Faktor yang Memicu Anjloknya Harga Sawit Rakyat
Ilustrasi: TBS yang siap dikirim ke PKS. (Foto via detik.com)

JAKARTA (Pesisirnews.com) - Petani sawit kecil kini sedang terpuruk akibat anjloknya harga sawit rakyat. Jatuhnya harga sawit rakyat terjadi di sejumlah daerah Indonesia.

Untuk itu, pemerintah diminta memperhatikan nasib petani sawit kecil dan segera mengambil langkah stategis untuk mengatasi anjloknya harga sawit rakyat.

Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus mengatakan, saat ini nasib petani sawit kecil mengenaskan. Deddy menganalogikan nasib para petani itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Baca Juga:

"Padahal saat ini harga pupuk melonjak tajam diluar daya beli petani, padahal kalau tidak dipupuk maka dipastikan tahun depan produktivitas sawitnya pasti menurun.

Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan, pemanenan, pengangkutan hingga beban utang bank atau rentenir dan biaya hidup," ujar Deddy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/6), yang dikutip dari Kompas.com.

Baca Juga:

Anggota legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini mempertanyakan anomali antara harga global, domestik dengan harga ke-ekonomian TBS dan minyak goreng yang tidak sinkron.

Menurut dia, saat ini demand crude palm oil (CPO) global terlihat mengalami penurunan hampir 30 persen dan harga patokan sudah diangka 4.632 Ringgit Malaysia (1.053 dollar AS) atau sekitar Rp. 15.584/kg per 22 Juni 2022.

"Angka itu jika dikurangi pajak ekspor, pungutan levi, dan biaya port diluar kewajiban DMO berarti harga CPO domestik seharusnya berada di Rp 11.026/kg," kata dia.

Deddy menjelaskan, jika merujuk harga domestik yang mengacu pada lelang KPB tersebut ditambah kewajiban DMO 16,7 persen, maka harga CPO harusnya berada di Rp 10.780/kg.

Jika harga domestik sebesar itu maka logikanya harga keekonomian TBS kelapa sawit petani (dengan rendemen 20 persen) seharusnya berada di atas Rp. 2.000/kg tergantung daerahnya atau rata-rata Rp 2.156/kg.

[br]

Tetapi, fakta menunjukkan harga di lapangan harga TBS kelapa sawit berada di bawah Rp 1.500, bahkan dibanyak daerah sudah terjun bebas di kisaran Rp 400 - Rp 1.000/kg.

"Sungguh mengerikan bahwa harga sawit produksi petani terpangkas hingga 80 persen dibandingkan sebelum moratorium. Sementara perusahaan sawit besar tidak merasakan dampak serupa jika mereka memiliki pabrik kelapa sawit atau memiliki usaha yang terintegrasi. Yang menderita itu rakyat petani kecil," ungkapnya.

Menurut Deddy, pemicu rontoknya harga TBS kelapa sawit petani di lapangan disebabkan beberapa hal.

Setidaknya ada tiga pemicu rontoknya harga sawit rakyat, mulai dari stok CPO melimpah, proses perizinan yang lambat hingga kualitas CPO menurun.

Pertama, stok CPO dalam negeri sudah meluap, sehingga Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) tidak lagi mampu menampung sawit rakyat.

Tangki CPO yang ada sudah penuh dan mengalami kelebihan pasokan, akhirnya harga TBS terjun bebas.

Kedua, proses perizinan ekspor yang sangat lambat karena baru diberikan setelah kewajiban DMO 85 persen tiba di pabrik minyak goreng yang ditunjuk.

Prosedur ini sangat memakan waktu dan menyebabkan tangki penyimpanan meluap dan tidak mampu menampung.

Bahkan, karena panjangnya proses tersebut kualitas CPO juga jadi terpengaruh, sebab jika TBS yang diolah perusahaan kelapa sawit (PKS) sudah lewat matang maka kadar asam lemak bebas (ALB) menjadi tinggi. Padahal standar CPO yang baik itu harus memiliki kadas ALB di bawah 3 persen.

Ketiga, banyak pengusaha CPO dan eksportir yang tidak bersedia memanfaatkan kebijakan darurat ekspor (flushing out) yang dibuat pemerintah akibat tambahan pungutan sebesar 200 dollar AS per MT.

Kewajiban tambahan ini menjadi disinsentif sebab menjadi tidak ekonomis karena harga global sudah menurun jauh.

"Yang terjadi akhirnya sementara ini, stok CPO melimpah dan yang punya pabrik minyak goreng menahan cadangannya," ucap dia.

[br]

Oleh karena itu Deddy menyarankan agar pemerintah melalui Kemendag segera memangkas proses perizinan ekspor, sehingga ekspor CPO dapat berjalan lebih cepat.

Hal ini akan mempercepat perputaran pasokan dan meningkatkan kapasitas tangki penyimpanan CPO.

Selanjutnya, tambahan kewajiban sebesar 200 dollar AS per MT sebaiknya dicabut, karena tidak ekonomis dan menjadi disinsentif ekspor yang menyebabkan penumpukan stok dan membuat harga TBS kelapa sawit ambruk.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan dinamika harga global untuk mengevaluasi kebijakan DMO, sebab saat ini harga CPO domestik setelah dikurangi pajak ekspor dan levi sudah menyentuh Rp 11.026/kg.

"Selanjutnya pemerintah seharusnya mulai membuat skenario baru untuk mengamankan pasokan bahan baku di masa depan dan mulai membangun cadangan nasional minyak goreng," kata Deddy.

Menurutnya, dengan harga CPO domestik yang ada saat ini ditambah biaya olah plus margin (Rp 1.500/kg), maka harga minyak goreng curah di pabrik seharusnya di harga Rp 12.526/kg atau Rp 11.525/liter.

Dengan demikian harga keekonomian minyak goreng curah seharusnya sudah berada di bawah HET yang sebesar Rp 14.000/kg.

"Saya perkirakan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama mekanisme pasar akan melakukan koreksi terhadap harga minyak goreng secara keseluruhan.

Tanpa melakukan apa pun, harga migor curah akan turun di bawah HET dan minyak goreng kemasan harganya akan berada di bawah Rp 20.000/kg," pungkasnya. (PNC)

Editor
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Puan dan Cak Imin Tak Tampak Hadir di Persidangan IV DPR RI 2022-2023, hanya Dihadiri 291 Anggota
DPR RI belum Setujui Perpu Pemilu 2022, Bagaimana Berlakunya? Simak Penjelasannya
Badan Legislasi DPR RI Setujui RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU
Anggota DPR RI Ajak Intelektual Kampus Dorong Pembangunan Desa Berbasis Data Desa Presisi
DPR Setujui Pemberhentian Dengan Hormat Jendral Andika Perkasa sebagai Panglima TNI
Ketua DPR RI:  CFW Sudah Menjalar, Energi Kreatif Anak Muda Harus Diwadahi
komentar
beritaTerbaru