Jumat, 16 Mei 2025 WIB

Pengamat Nilai Ketua MK Anwar Usman Sepatutnya Mundur jika Nikahi Adik Jokowi, Ini Alasannya

- Jumat, 25 Maret 2022 10:20 WIB
964 view
Pengamat Nilai Ketua MK Anwar Usman Sepatutnya Mundur jika Nikahi Adik Jokowi, Ini Alasannya
Ketua MK Anwar Usman dan adik Presiden Jokowi, Idayati. (Foto via Grid.ID)

JAKARTA, Pesisirnews.com - Pengamat dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif), Raden Violla Reninda, mengemukakan pendapat jika sebaiknya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin menikahi adik Presiden Joko Widodo (Jokowi), Idayati.

“Sebab jika tidak, hal tersebut tentu akan berimplikasi pada independensi dan imparsialitasnya sebagai hakim konstitusi yang berujung pada kualitas putusan yang tidak adil dan baik,” kata Reninda dalam keterangan tertulisnya yang dikutip dari KOMPAS.TV, Jumat (25/3/2022).

Tak hanya itu, Reninda mengatakan sikap kenegarawanan Ketua MK Anwar Usman juga akan diuji terkait rencana pernikahannya tersebut. Sebab, meskipun menikah merupakan hak, tapi benturan kepentingan akan menjadi masalah krusial.

Baca Juga:

“Menikah adalah hak Ketua MK. Namun, pernikahan itu akan menjadi ujian sikap kenegarawanan Ketua MK. Potensi benturan kepentingan bakal jadi masalah krusial kelak karena terbentuknya relasi semenda antara Ketua MK dengan Presiden,” kata Reninda.

“Sederhananya, publik akan bertanya, bagaimana sikap dan objektivitas Ketua MK saat menyidangkan perkara-perkara pengujian undang-undang, di saat yang sama ia memiliki relasi kekeluargaan dengan Presiden?” lanjutnya.

Baca Juga:

Menurut Reninda, seyogianya seorang hakim MK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun untuk memastikan benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi tetap terjaga.

“Plato dalam bukunya yang berjudul The Statesman telah menekankan soal kemampuan negarawan (hakim) untuk bersikap adil dan baik serta mengutamakan kepentingan warga negara, ketimbang aspek pribadinya,” ujarnya.

[br]

Apalagi, lanjutnya, dalam beberapa waktu belakangan ini, MK dideru perkara-perkara pengujian undang-undang yang sarat muatan politis termasuk di antaranya UU IKN dan UU MK.

“MK juga sedang dalam fase juristocracy atau meminjam gagasan C Neil Tate, judicialization of politics, yakni ekspansi lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara yang memiliki unsur politis,” ucap Reninda.

“Kondisi ini akan membawa implikasi yang fatal tatkala hakim terperangkap benturan kepentingan,” lanjutnya.

Reninda menambahkan, paling tidak ada dua aturan yang berpotensi dilanggar bila Ketua MK tidak segera mengambil sikap yang bijaksana sebagai seorang negarawan.

Pertama, Pasal 17 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 17 ayat (4) berbunyi, ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

Sementara Pasal 17 ayat (5) berbunyi, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

[br]

“Perlu ditegaskan juga bahwa terdapat konsekuensi logis bila ketentuan ayat (5) dilanggar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (6), yaitu bahwa putusan dinyatakan tidak sah dan hakim akan dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan,” tegas Reninda.

Kedua, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Dalam perspektif peraturan a quo, terdapat dua prinsip pokok yang rawan benturan kepentingan dan berpotensi dilanggar yakni prinsip independensi dan prinsip ketakberpihakan.

“Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan,” ujarnya.

“Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara,” pungkasnya. (PNC)

Editor
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru